Sunday, November 06, 2016

Sejarah Singkat terbentuknya IPDN


Assalamualaikum dan selamat datang di blog ane ya gan.

Postingan kali ini ane khususkan untuk membahas secara singkat berdirinya Institut Pemerintahan Dalam Negeri atau yang biasa di singkat dengan IPDN. Seperti yang banyak orang tahu bahwa IPDN merupakan Sekolah Tinggi Kedinasan yang berada di bawah Kementerian Dalam Negeri. Sebagai kementerian yang memiliki tugas pokok dan fungsi menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan baik dalam sekup daerah maupun negara, IPDN menjadi bagian dari visi kemendagri untuk mewujudkan pemerintahan (pusat dan daerah) yang berdaya saing dan visioner dengan mencetak sumber daya mumpuni dan andal baik dalam perilaku dan kemampuan dalam praktek pemerintahan. IPDN juga biasa disebut Sekolah Pamong karena para peserta didiknya selain diajarkan untuk menjadi abdi negara dan abdi masyarakat yang ideal dalam pelayanan kepada masyarakat, mereka juga dituntut untuk berperan serta dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (melalui ilmu dan doktrin yang didapat saat mengikuti pendidikan). Secara Simpel, Sekolah Pamong bisa diartikan sebagai sekolah untuk para pemimpin.


Apabila kita lihat lagi kebelakang, keberadaan IPDN sebagai Sekolah Pamong ini memiliki sejarah yang cukup panjang. Postingan kali ini akan menceritakan secara singkat sejarah terbentuknya sekolah kedinasan ini. Selamat menyimak ya gan :)
  • Sekolah Pamong sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Dahulu sekali sekolah pamong namanya adalah Hofden School (Sekolah Pemimpin atau Sekolah Raja) yang didirikan pada tahun 1878 di Tondano, Sulawesi Utara. Dalam perkembangannya Hofden School juga tersebar di beberapa daerah seperti Bandung, Magelang, dan Probolinggo. Sekolah ini dibentuk karena adanya kebutuhan kolonial Belanda akan kader-kader pemerintahan dan kala itu yang dapat bersekolah di sini hanyalah orang-orang priyayi atau yang memiliki keturunan darah biru. Bisa diartikan juga sekolah ini dibentuk sebagai langkah kolonial Belanda untuk berkonsolidasi dengan tokoh-tokoh pribumi.
  • Pada Tahun 1900, Hofden School menggalami reorganisasi menjadi OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren) yang dalam bahasa Indonesia bisa di artikan Sekolah Pelatihan untuk Pejabat Pribumi. Selain ketiga tempat di atas, karena jumlah peserta didik yang kian bertambah, dibukalah kembali cabang dari OSVIA di Serang, Madiun, Blitar dan Bukit Tinggi.
  • Tahun 1927 seluruh cabang OSVIA digabungkan menjadi MOSVIA (Middelbare Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren) yang berpusat di Magelang. MOSVIA ini hitungannya seperti sebuah sekolah kejuruan yang khusus mempelajari tata administrasi pemerintahan. Baik OSVIA maupun MOSVIA, para lulusannya sangat dibutuhkan dan dimanfaatkan untuk memperkuat penyelenggaraan pemerintahan Hindia Belanda. Beberapa lulusan OSVIA mempunyai peranan dalam pergerakan nasional untuk memperoleh kemerdekaan. Sebut saja H. O. S. Tjokroaminoto sebagai tokoh Sarekat Islam (SI) dan Soetardjo Arthohadikoesoemo yang bergabung dalam organisasi Budi Utomo.
  • Keberadaan Sekolah Pamong berlanjut ketika masa awal kemerdekaan RI. Pada tahun 1948 dibentuklah lembaga pendidikan dibawah Kementerian Dalam Negeri yang bernama Sekolah Menengah Tinggi ( SMT ) Pangreh Praja yang kemudian berganti nama menjadi Sekolah Menengah Pegawai Pemerintahan Administrasi Atas (SMPAA) di Jakarta dan Makassar. Sekolah ini dibentuk karena saat itu kebutuhan akan kader-kader Pamong dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan baik di pusat maupun di daerah semakin meningkat. Ini berkaitan dengan tuntutan perkembangan penyelenggaraan pemerintahan yang semakin kompleks.
  • Tahun 1952, Kementerian Dalam Negeri, membuat sebuah pendidikan kursus yang disebut Kursus Dinas C (KDC) di Malang, Jawa Timur. Tujuannya adalah untuk meningkatkan keterampilan pegawai golongan DD (golongan pegawai masa itu yang merupakan lulusan SLTA atau sederajat) agar siap pakai dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Pada tahun 1954, KDC selain di Malang, juga diselenggarakan di daerah lain seperti Aceh, Bandung, Bukit Tinggi, Pontianak, Makassar, Palangkaraya dan Mataram.
  • Melihat progres perkembangan penyelenggaraan yang kian kompleks dan luas, adanya kursus ini dinilai kurang memadai. Atas dasar ini, pemerintah mendirikan Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) pada Maret 1956 di Malang, Jawa Timur. APDN di Malang ini bersifat nasional dan peserta didiknya berasal dari perwakilan seluruh penjuru tanah air. Lulusan dari APDN kala itu bertitel BA (Bachelor of Art atau sarjana muda)
  • Akan tetapi adanya APDN dengan lulusan sarjana mudanya masih dirasa kurang oleh pemerintah. Akhirnya pemerintah memutuskan untuk menyelenggarakan pendidikan bagi aparatur pemerintahan ini pada jenjang sarjana. Untuk itu, pada tahun 1967 didirikanlah Institut Ilmu Pemerintahan atau biasa dikenal dengan IIP di Malang, Jawa Timur. Tahun 1972, IIP di Malang digeser kampusnya ke Jakarta. IIP di sini sebenarnya merupakan opsi bagi para lulusan APDN untuk mendapatkan sarjana penuh. Selain IIP para lulusan APDN dapat juga melanjutkan pendidikan ke berbagai perguruan tinggi lain baik negeri maupun swasta yang memiliki ilmu pemerintahan, ilmu politik, atau ilmu administrasi negara, dengan penyesuaian pada tingkat IV (seperti Diploma IV/ Strata 1).
  • APDN yang tadinya hanya berpusat di Malang, secara bertahap pada tahun 1970 juga didirikan di 20 provinsi lain yakni di Banda Aceh, Medan, Bukittinggi, Pekanbaru, Jambi, Palembang, Lampung, Bandung, Semarang, Pontianak, Palangkaraya, Banjarmasin, Samarinda, Mataram, Kupang, Makassar, Manado, Ambon dan Jayapura. Dengan kata lain, APDN kala itu bukan APDN Nasional lagi, tetapi menjadi APDN Daerah.
  • Tahun 1988, dengan dasar pertimbangan agar para kader pemerintahan memiliki wawasan nasional dan pengendalian kualitas pendidikan, Menteri Dalam Negeri Rudini memutuskan untuk menyatukan kembali APDN yang tersebar di daerah-daerah. Akhirnya terbentuklah APDN Nasional jilid II dengan program D III yang lokasinya berada di Jatinangor, Jawa Barat. Sejak Keputusan Mendagri dikeluarkan pada tahun 1988, APDN Nasional yang dirilis oleh Menteri Rudini baru diresmikan pada tahun 1990.
  • Dua tahun berikutnya, pada tahun 1992, APDN Nasional ditingkatkan statusnya menjadi Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri atau STPDN dengan program studi D III yang diresmikan pada taggal 18 Agustus 1992. Tiga tahun setelahnya, karena faktor kebutuhan dan perkembangan karir lulusan STPDN sejalan dengan peningkatan eselonering jabatan dalam sistem kepegawaian, maka program studi yang tadinya D III di tingkatkan menjadi D IV pada tahun 1995.
  • Peningkatan tersebut menjadikan Kemendagri memiliki dua Sekolah Kedinasan yakni STPDN yang merupakan pendidikan profesi dan IIP yang merupakan pendidikan akademik. Lulusannya sama-sama bergolongan III/a dalam kepegawaian.
  • Kebijakan Nasional terkait pendidikan tinggi pada tahun 1999 di antaranya mengatur bahwa Departemen atau saat ini dikenal dengan Kementerian hanya boleh memiliki satu saja sekolah tinggi kedinasan dalam keilmuan yang sama. Hal ini mendorong Kemendagri untuk melakukan merger terhadap STPDN dan IIP. Akhirnya, sejalan dengan dikeluarkannya Keppres No. 87 tahun 2004 tentang Penggabungan STPDN ke dalam IIP, kedua sekolah kedinasan di bawah Kementerian Dalam Negeri ini resmi digabung dengan nama baru, yakni Institut Pemerintahan Dalam Negeri atau IPDN.
  • Tahun 2007, IPDN diterpa masalah karena salah satu peserta didik bernama Cliff Muntu meninggal dunia disebabkan kekerasan yang terjadi di lingkungan kampus. Atas dasar ini dibentuklah Tim Evaluasi Penyelenggaraan Pendidikan di Institut Pemerintahan Dalam Negeri. Tim yang dibentuk berdasarkan keputusan presiden ini merekomendasikan agar penyelenggaraan pendidikan tinggi kepamongprajaan di IPDN perlu diadakan penataan kembali secara menyeluruh.
  • Rekomendasi tersebut diwujudkan dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2004 tentang Penggabungan Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri ke Dalam Institut Pemerintahan Dalam Negeri. Muara dari keputusan ini, pendidikan dinas pamong praja di IPDN direformasi dalam format sistem pendidikan yang baru.
  • Akhirnya pada tahun 2009, salah satu bentuk dari reformasi yang dilakukan adalah dengan meregionalisasi Kampus IPDN menjadi kampus daerah selain kampus induk di Jatinangor. Beberapa kampus daerah yang di bentuk pada waktu itu yaitu Kampus IPDN di Bukit Tinggi, Pekanbaru, Makassar dan Manado.
  • Setahun setelah itu, dibentuk juga kampus regional lain yang berada di Mataram (Nusa Tenggara Barat), Kubu Raya (Kalimantan Barat), dan Jayapura (Papua).
  • Sistem regionalisasi kampus tidak membuat para peserta didik dari awal hingga akhir pendidikan berada dalam satu kampus seperti saat era APDN dulu. Sistem yang baru ini bersifat kumpul sebar kumpul. Yakni selama satu tahun peserta didik berada di Kampus IPDN Jatinangor, lalu dua tahun kemudian sebagian disebar di Kampus Regional dan pada tahun keempat, semua peserta didik berkumpul lagi di Kampus IPDN Jatinangor.

Tambahan

  • IPDN memiliki dua Fakultas yakni Fakultas Politik Pemerintahan dan Fakultas Manajemen Pemeritahan. Fakultas Politik Pemerintahan terbagi atas dua program studi yakni program studi kebijakan pemerintahan dan program studi politik pemerintahan. Sedang untuk Fakultas Manajemen Pemerintahan terbagi atas lima program studi yakni Program Studi Manajemen Sumber Daya Manusia, Manajemen Keuangan, Manajemen Pembangunan, Manajemen Pemerintahan dan Kebijakan Pemerintahan.
  • Untuk program studi Kebijakan Pemerintahan, baik dari fakultas Polpem maupun Menpem menerapkan program strata satu (S1). Hal ini terkait dengan esensi dari kebijakan pemerintahan sendiri yang dalam pembuatan keputusannya (decision making) memerlukan banyak referensi dan teori agar efektif dan efisien. Tentunya hal tersebut merupakan kompetensi strata yang dalam muatan kurikulumnya mengedepankan pendalaman teori yang kuat, kemampuan riset dan analisis mendalam. Berbeda dengan diploma yang muatan kurikulumnya lebih cenderung praktek agar setelah lulus nanti para peserta didiknya bisa langsung digunakan oleh para user-nya nanti di lapangan. Inilah mengapa lulusan IPDN ada yang memiliki gelar Diploma (S.STP) dan gelar S1 (S.IP)
  • Seiring dengan tuntutan kebutuhan sumber daya manusia yang berkualitas di lingkungan Kementerian dan Pemerintah Daerah, IPDN saat ini juga membuka Program Pengembangan Pendidikan Magister (S2) dan Program Doktoral (S3).
   
Demikian untuk postingan kali ini. Karena keterbatasan referensi dan data, mohon apabila dalam penulisannya ada masukan dan saran, untuk dapat mengisi kolom komentar di bawah.

Wassalam.

No comments:

Post a Comment