Desa sebagai salah satu entitas penting NKRI sudah ada sebelum proklamasi tahun 1945. Pada masa itu desa sudah memiliki sistem tersendiri untuk mengatur sendiri komunitasnya berdasarkan kearifan lokal masing-masing. Keterlibatan masyarakat secara langsung atau biasa disebut gotong royong pun juga menjadi prinsip pembangunan yang tak terpisahkan di desa.
Ketika Orde Baru lahir, nilai tersebut perlahan memudar. Kewenangan pusat mengatur desa demikian kuat. UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa pada waktu itu sifatnya lebih menyeragamkan desa baik nama, bentuk, susunan, dan kedudukan pemerintahannya. Penyeragaman tentu tidak cocok dengan Indonesia yang sangat beragam dan mengakui serta menghormati hak asal-usul daerah yang bersifat istimewa.
Kondisi tersebut kurang lebih sama pada Era Reformasi. Desa masih belum memiliki privilege untuk mengatur dirinya sendiri. UU No 22 tentang Otonomi Daerah yang direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagian besar masih sama dalam hal pengaturan desa terutama cara kerja Pemerintah Desa. Desa lebih cenderung mengutamakan mengerjakan ‘tugas pembantuan’ dari pemerintah di atasnya (dari kabupaten misalnya) dibanding membangun tata kelola desa yang lebih demokratis dari diri mereka sendiri.
Ketika UU No. 6 Tahun 2014 disahkan, warna pemerintahan desa menjadi berbeda. Desa diberi kepercayaan oleh Negara untuk mengatur dan mengelola keuangan dalam rangka pembangunan di desa dengan tetap memperhatikan peraturan yang berlaku. Harapan membawa desa menjadi lebih maju, mandiri, demokratis dan sejahtera akan terbuka lebar. Desa tidak lagi menjadi objek pembangunan dan pemerintah desa bersama masyarakat akan berperan aktif untuk menjadi desa yang kuat.
Pembangunan di desa tentu saja sesuatu yang urgen dilakukan. Desa sebagai bagian pemerintahan yang terkecil menempati posisi terdepan dan strategis dalam pembangunan baik kawasan maupun manusia. Jokowi-JK pun dalam 9 Agenda Perubahan atau lebih popular dengan istilah Nawa Cita turut memasukkan desa sebagai bagian dari fokus pembangunan. Nawa Cita poin ke tiga berbunyi: “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negara Kesatuan”.
Beberapa hal yang baru setelah UU No. 6 Tahun 2014 disahkan
1. Kementerian yang mengurusi Desa
Meskipun tak berkaitan langsung dengan disahkannya UU Desa, adanya kementerian baru yang mengurusi desa dalam Kabinet Kerja 2015-2019 sepertinya perlu untuk dibahas. Kementerian tersebut adalah Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT). Sebelumnya, urusan desa sepenuhnya menjadi kewenangan dari Kemendagri di bawah Ditjen PMD. Akan tetapi setelah kementerian itu terbentuk, urusan desa menjadi urusan dua kementerian. Oleh karena itu, pembagian wewenang yang jelas di antara keduanya sangat dibutuhkan agar tidak terjadi tumpang tindih tugas dan fungsi kedepannya.
Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2015 menyebutkan bahwa pembangunan desa menjadi tugas dan tanggung jawab Kemendes PDTT (melalui Ditjen Pembangunan dan Pemberdayaan dan Ditjen Pembangunan Kawasan Perdesaan), sehingga fungsi pokok kementerian ini adalah sebagai koordinator pembangunan kawasan perdesaan. Tugas kementerian ini meliputi:
- Pelayanan sosial dasar
- Pengembangan usaha ekonomi desa
- Pendayagunaan SDA dan TTG
- Pembangunan sarana dan prasarana desa
- Pemberdayaan masyarakat desa
- Perencanaan pembangunan kawasan perdesaan
- Pembangunan sarana/prasarana kawasan perdesaan, dan
- Pembangunan ekonomi kawasan perdesaan.
Sedangkan Kementerian Dalam Negeri (melalui Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa) lebih berfokus pada tugas-tugas yang bersifat administratif pemerintahan, seperti:
- Penataan desa
- Administrasi pemerintahan desa
- Keuangan dan aset desa
- Produk hukum desa
- Pilkades
- Pengembangan perangkat desa
- Penugasan urusan pemerintahan
- Kelembagaan desa,
- Kerjasama pemerintahan desa, dan
- Evaluasi perkembangan desa.
Terlepas dari isu-isu politik yang berkembang, apa karena desa selalu identik dengan suatu kawasan terbelakang sehingga urusannya di kementerian harus digabung dengan pembangunan daerah tertinggal dan transmigrasi yang tidak serumpun, rakyat tetap berharap dua kementerian tersebut mampu menjadikan desa lebih baik nantinya.
2. Desa menerima dana milyaran dari pusat
Sumber pendapatan desa |
UU Desa dalam pasal 72 menyebutkan bahwa desa mempunyai tujuh sumber pendapatan, yakni:
- Pendapatan asli desa, yang terdiri dari hasil usaha, hasil aset, swadaya, partisipasi, gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli desa.
- Alokasi Pendapatan dan Belanja Negara/dari APBN
- Bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah
- Alokasi dana desa (ADD) yang merupakan bagian dari perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota;
- Bantuan keuangan dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/kota;
- Hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat; dan
- Lain-lain pendapatan desa yang sah.
Sumber pendapatan desa dari dana APBN merupakan hal yang baru. Dana tersebut berasal dari realokasi anggaran Kementerian/Lembaga yang berbasis desa. Jumlahnya 10 persen dari dan di luar dana Transfer Daerah (on top) dalam APBN yang diberikan secara bertahap pada tahun anggaran berjalan. Misalnya Dalam APBN total dana transfer pusat ke daerah adalah Rp 592,6 triliun, maka total dana transfer ke daerah yang dialihkan untuk Dana Desa adalah Rp 59,26 triliun (10%). Jumlah yang diterima per desa dihitung berdasarkan jumlah desa dan dialokasikan dengan memperhatikan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis. Untuk mekanisme penyalurannya, Pusat akan menyalurkan dana desa dari Rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah (Kab/Kota) dan kemudian melalui mekanisme transfer APBD disalurkan ke Rekening Kas Desa dengan terlebih dahulu melengkapi persyaratan yang diminta. Bila dilihat, pencairan dana tak lagi melalui kementerian teknis.
Selain itu, desa juga mendapat dana dari Kabupaten/Kota yang berasal dari bagi hasil pajak & retribusi dan dana perimbangan yang diterima Kab/Kota dalam APBD setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus. Jumlahnya masing-masing sama yakni sekitar 10%. Apabila dalam pelaksanaannya Kab/Kota tidak mengalokasikan ADD seperti yang diamanatkan, pemerintah dapat menunda atau mengurangi dana perimbangan bagi Kab/Kota tersebut. Di luar itu, desa juga bisa saja mendapat bantuan keuangan dari Provinsi maupun Kab/Kota.
3. Berkaitan dengan Kepala Desa
3.1. Penghasilan Kepala Desa
Dampak dana milyaran tersebut tentu saja akan berimplikasi terhadap penghasilan aparat desa. Seperti yang disebutkan dalam Pasal 66 bahwa Kepala Desa memperoleh gaji dan penghasilan tetap setiap bulan. Penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa bersumber dari dana perimbangan dalam APBN yang diterima oleh kabupaten/kota dan ditetapkan oleh APBD. Selain itu, Kepala Desa dan Perangkat Desa juga memperoleh jaminan kesehatan dan penerimaan lainnya yang sah. Lebih sejahtera dari sebelumnya bukan?
3.2. Kewenangan Kepala Desa
UU Desa juga memberikan kewenangan tambahan kepada Pemerintah Desa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kewenangan ini membuat kepala desa dapat mengambil kebijakan secara mandiri dalam mengelola potensi dan pembangunan di desanya, tanpa didikte oleh kepala daerah atau pemerintah pusat. Dengan demikian, kerja kepala desa yang selama ini hanya seolah menjadi pesuruh camat atau bupati, akan bisa menentukan sendiri bagaimana pengaturan dan arah pembangunan desanya.
Walaupun memiliki kewenangan penuh mengatur desa dan mengelola keuangan sendiri, kepala desa tidak bisa disebut sebagai raja kecil. Ini karena tidak ada satu pasal pun yang dapat membuat kepala desa memonopoli kebijakan. Kepala desa tetap memikul kewajiban untuk mempertanggungjawabkan semua kewenangan dan pengelolaan dana yang dilakukannya.
3.3. Masa Jabatan Kepala Desa bertambah
Dalam hal masa jabatan kepala desa, UU Desa sekarang memberi kesempatan kepada kepala desa menjabat selama tiga periode dengan lama jabatan tiap periode 6 tahun (pasal 39). Sama halnya dengan BPD yang juga dapat menjabat paling banyak 3 periode.
4. Penguatan Fungsi Badan Permusyawaratan Desa
4. Penguatan Fungsi Badan Permusyawaratan Desa
BPD |
Satu lagi yang menarik dari UU Desa. Menurut pasal 55 dijelaskan bahwa Badan Permusyawaratan Desa (BPD) mempunyai fungsi:
- Membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa;
- Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa; dan
- Melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa.
Terdapat penambahan fungsi dari BPD pada huruf c yaitu mengenai pengawasan kinerja Kepala Desa. Ini berbeda dengan UU 32/2004 pasal 209 yang menyebutkan bahwa Badan Permusyawaratan Desa fungsinya hanya menetapkan peraturan desa bersama kepala desa dan menampung serta menyalurkan aspirasi masyarakat.
Dengan adanya fungsi pengawasan ini, BPD tidak lagi sekedar menjadi lembaga stempel seperti yang terjadi selama ini. BPD akan memiliki ruang untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja kepala desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Termasuk menerima laporan pertanggungjawaban kepala desa seperti yang disebutkan pada pasal 27 poin (c) dan (d), kepala desa memberikan laporan keterangan penyelenggaraan pemerintahan secara tertulis kepada Badan Permusyawaratan Desa (BPD) setiap akhir tahun anggaran dan memberikan dan/atau menyebarkan informasi penyelenggaraan pemerintahan secara tertulis setiap akhir tahun anggaran
Tantangan ke depan
Banyak kalangan yang meragukan Undang-Undang Desa ini. Keraguan yang muncul terutama karena desa akan mengelola dana yang begitu besar. Apakah dana ini nantinya dapat tepat sesuai harapan? Bagaimana jika malah menjadi rezeki bagi oknum yang tidak bertanggung jawab?
Pemerintah sudah menyiapkan strateginya. Hal ini dapat dihindari karena dana ada di kabupaten. Pemerintah Kab/Kota juga akan melakukan pendampingan kepada desa termasuk dalam budgeting anggaran. Selain itu, pemerintah akan melakukan pengawasan dalam penetapan anggaran, evaluasi anggaran dan pertanggungjawaban anggaran. BPK juga akan ikut andil mengaudit semua penyelenggara anggaran itu setiap akhir tahun. Rekomendasi BPK yang bersifat administratif akan diselesaikan secara administratif dan apabila ada temuan yang indikasinya bersifat pidana dan merugikan negara, BPK akan melanjutkan kepada aparat penegak hukum.
Agar aplikasi UU Desa lancar dan tidak menimbulkan masalah (pidana misalnya) nantinya, beberapa hal berikut dapat dilakukan:
1. Tata kelola pemerintahan desa perlu di persiapkan dengan matang
Tata kelola pemerintahan desa yang dimaksud adalah tata kelola pemerintahan desa yang mengadopsi dan menerapkan prinsip-prinsip dalam paradigma good governance. Meliputi prinsip akuntabilitas, partisipasi, transparansi, penegakan hukum, responsif, kesetaraan (keadilan), efektivitas & efisiensi, dan visi strategis.
2. Mekanisme pertanggung jawaban penggunaan anggaran desa yang disederhanakan dengan tidak meninggalkan aturan yang ada
Mekanisme pertanggung jawaban penggunaan anggaran desa adalah menyangkut sistem kebendahaaraan, sistem akuntansi anggaran, model pelaporan, dan lain-lain.
3. Melakukan capacity building (penguatan kapasitas aparat (pamong) & kelembagaan pemerintahan desa)
Penguatan kapasitas ini antara lain: kemampuan dalam hal pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh setiap aparat desa menurut bidangnya masing-masing. Misalnya kepala desa perlu untuk belajar pembukuan (accounting) karena kepala desa akan menjadi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Posisi ini cukup rentan, apalagi bagi seorang kepala desa yang tidak mengerti bagaimana mengelola keuangan.
Dana desa yang jumlahnya kurang lebih 1 Miliar per tahun tentunya harus ada pertanggungjawabannya secara administratif. Oleh sebab itu setiap kepala desa wajib menguasai akuntansi atau minimal pembukuan, agar pemakaian dana tersebut bisa dipertanggungjawabkan. Jika dari sisi data akuntansi tidak valid, dikhawatirkan akan banyak kepala desa yang tersandung kasus korupsi. Pembukuan yang baik yakni mencatat semua penerimaan dan pengeluaran dengan detil. Misalnya, setiap pembelian barang harus ada kuitansinya, barang yang dibeli harus sesuai peruntukannya dan lain sebagainya.
***
Terimakasih sudah membaca dan semoga bermanfaat. Wassalam.
Ada desa-desa dimana posisi penduduk pedesaan ibarat orang yang selamanya berdiri terendam dalam air sampai ke leher, sehingga ombak yang kecil sekalipun sudah cukup menenggelamkan mereka (Tawney, 1931)
Referensi:
- http://pintarmampu.bakti.or.id/news/view/611/sudah-siapkah-kita-menyonsong-implementasi-uu-no-6-tahun-2014
- http://bitra.or.id/2012/2015/04/10/uu-desa-anggaran-desa-dan-kelembagaan-desa/
thank you.
ReplyDeleteyoure welcome
Delete